BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat termasuk ilmu pengetahuan
yang paling luas cakupannya, begitu juga filsafat islam. Filsafat Islam
meliputi problematika yang satu dengan yang banyak, menyelesaikan korelasi
antara Allah dengan para makhluk-Nya, sebagai problematika yang menyulut
perdebatan panjang dikalangan para Mutakalimin.
Kegiatan filsafat kerat
kaitannya dengan intelek al-Aql.
Sementara kegiatan agama banyak berkaitan
dengan spirit al-ruh. Filsafat Islam merupakan suatu komponen penting dalam
tradisi intelektual islam. Disisi lain, para filosof muslim memiliki
penghayatan spiritual yang sama mendalamnya, seperti gnostik (‘urafa)-
pengetahuan yang diperoleh tidak melalui pemikiran tetapi masuk langsung
kedalam benak yang dikandung oleh para sufi. Lebih dari itu Filsafat Islam
telah memainkan suatu peranan penting dalam perkembangan kegiatan penafsiran
kitab suci (kalam), tidak seperti Matematika dan Astronomi dan ilmu lainnya.
Filsafat dapat memberi inspirasi bagi berbagai perkembangan pemahaman
konsep-konsep agama islam.
Ajaran filsafat yang dikemukakan oleh
sebagian besar filsuf muslim awal adalah apa yang dikenal dengan filsafat
paripatetik.[1] Ajaran ini
merupakan sintensis ajaran-ajaran wahyu islam, filsafat aristotelian dan
neoplatonisme, baik yang berkembang di Athena maupun di Alexandria. Ajaran ini
dimulai pada abad 3H/9M dalam iklim intelektual yang kaya di baghdad oleh al-Kindi.
Filsafat paripatetik ini kemudian di kembangkan oleh penerus al-Kindi seperti
Al-Farabi dan Yahya Ibnu Adi. Selanjutnya perkembangan filsafat paripatetik
makin memuncak sampai pada masa Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
B. Rumusan
masalah
1. Apa yang dimaksud
dengan Filsafat islam ?
2. Bagaimana filsafat
islam pra Ibn Rusyd ?
3. Bagaimana Fisafat
islam pada masa ibn Rusyd ?
4. Bagaimana Filsafat
Pasca Ibn Rusyd ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Islam
Filsafat
islam merupakan suatu komponen penting dalam tradisi intelektual islam.
Filsafat islam berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, antara aqidah
dengan hikmah, antara agama dengan filsafat, dan berupaya menjelaskan kepada
manusia bahwa (a) wahyu tidak
bertentangan dengan akal, (b) aqidah jika diterangi dengan sinar filsafat akan
menetap di dalam jiwa dan akan kokoh di hadapan lawan, (c) agama jika
bersaudara dengan filsafat menjadi religius. Karena filsafat islam dilahirkan
oleh lingkungan dimana ia hidup dan tidak terlepas dari kondisi yang
melingkupi, maka filsafat islam sebagaimana yang nampak adalah filsafat
religius/spiritual.
B.
Pra
Ibnu Rusyd
Era Pra Ibnu Rusyd dianggap sebagai sebuah masa
ketika manusia Eropa-para intelektual dan filsuf-berusaha mewujudkan sebuah
sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang sepenuhnya dibangun berdasarkan
rasionalitas yang tercerahkan. Upaya ini merupakan sebuah respons yang benih-benihnya
telah disemai oleh para tokoh Renaisans dan Reformasi abad ke-15 dan ke-16.
Kaum ensiklopedis seperti Diderot dan Voltaire meyakini bahwa ilmu pengetahuan
dan pendidikan adalah cara terbaik mengatasi keyakinan-keyakinan akan mitos,
takhayul, dan kebodohan. Para aktivis Pencerahan kerap memandang diri mereka
sebagai intelektual bebas yang mendorong dunia ke arah kemajuan dan perubahan
yang lebih baik.
Dalam artikelnya berjudul Was ist Aufklärung? (Apakah Itu
Pencerahan?), Immanuel Kant, tokoh penting Pencerahan itu, memberi definisi
sangat jelas. Pada hematnya, pencerahan adalah: keluarnya manusia dari
ketidakmatangan yang diciptakannya sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah
ketidakmampuan seseorang menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain.
Ketidakmatangan semacam ini terjadi bukan karena kurangnya daya pikir, tetapi
karena kurangnya determinasi dan keberanian menggunakan pemahaman sendiri. Moto
pencerahan, dengan demikian, adalah Sapere aude! Beranilah menggunakan
pemahaman sendiri! (Kant, What is Enlightenment?, 1990).
Seperti bisa dilihat, selain
menekankan pada kata keluarnya ausgang,
Kant juga memberi penekanan pada ketidakmatangan unmündigkeit serta determinasi dan keberanian entschliebung und mut yang merefleksikan dua
karakter berbeda dari sifat manusia. Penggunaan akal bebas ditekankan
sebesar-besarnya yang oleh Kant kemudian diberikan prasyarat tambahan:
keberanian.
C.
Masa
Ibnu Rusyd
Abu
Ya’la Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd (1126-1198), atau yang
lebih terkenal dengan sebutan ibnu Rusyd atau Averroes,adalah filosuf muslim
barat terbesar di abad pertengahan. Dia adalah pendiri pikiran merdeka sehingga
memiliki pengaruh yang sangat tinggi di Eropa. Ia lahir di kota Cordova pada
tahun 520 H/1126 M.
Ibnu
Rusyd oleh Dante dalam Difine Comediannya menyebutnya “Sang Komentator” karena
ia di anggap sebagai komentator terbesar atas karya-karya Aristoteles.[2]
Secara resmi Ibnu Rusyd memang diminta oleh Amir Abu Ya’la Yaqub Yusuf untuk
menulis komentar antar berbagai karya Aristoteles, dan dia membuat tiga kategori
komentar : Ringkasan jami’, komentar
singkat talkhis, dan komentar detail syara’ atau tafsir.
Akan
tetapi untuk jangka waktu yang sangat lama, di dunia muslim Ibnu Rusyd tidak dikenal
karena komentar-komentar terhadap karya-karya Aristoteles, tetapi karena
Tahafut At Tahafutnya yang ditulisnya
sebagai bantahan terhadap buku Al-Ghazali, Tahafut Al Falasifah.
Komentar-komentarnya banyak berada di dunia Yahudi dan Kristen sehingga
kebanyakan komentar-komentarnya tidak lagi ditemukan dalam bahasa Arab, tetapi
sudah dalam bentuk terjemahan bahasa Hebrew atau Latin.
Ibnu
Rusyd sangat mengagumi logika Aristoteles. Karena penghormatannya yang sangat
tinggi terhadap Aristoteles Ibnu Rusyd harus membayar sangat mahal. Dia
diserang oleh kaum ortodoks karena usahanya untuk menyejajarkan ajaran
Aristoteles dengan ajaran islam. Para teolog merasa bahwa Ibnu Rusyd dalam
rangka untuk merekonsiliasi dogma islam dengan filsafat Aristoteles, telah
menodai ajaran islam. Mereka sangat murka terhadap Ibnu Rusyd dan menuduhnya
telah murtad karean isi filsafatnya yang dianggap sangat bertentangan dengan
pelajaran agama islam yang umum. Ia dibuang tahun 593 H/1196 M dan diasingkan
ke Lucena, dekat Cordova, serta buku-bukunya dibakar di muka umum. Dan dia dibebaskan
pada tahun 595 H/1198 M.
a.
Keabadian Alam (Qidam
Al-Alam)
Apakah
alam ini qodim ( ada tanpa permulaan ) ataukah hadits (ada setelah tiada), maka
menurut Ibnu Rusyd perselisihan antara kalam teolog pengikut Asy’ariyah dan para
filosuf klasik hampir bisa dikembalikan pada perselisihan mengenai penamaan
saja, khususnya dari beberapa orang filosuf
saja. Sebab mereka telah sepakat adanya tiga macam wujud yaitu yang dua
bersifat extrim dan yang satu merupakan pengetahuan dari keduanya.[3]
Ekstrim
pertama adalah wujud yang terjadi dari sesuatu selain adanya dan oleh sesuatu
yang lain, yakni oleh suatu sebab penggerak ada dari suatu bahan tertentu, dan
wujud ini dalam kewujudannya didahului oleh waktu. Inilah keadaan benda-benda
yang dapat diketahui dengan indra. Wujud ini dinamakan hadits (ada setelah
tiada).
Ekstrim
yang kedua adalah wujud yang adanya tidak berasal dari maupun disebabkan oleh
sesuatu yang lain serta tidak pula melalui oleh waktu. Wujud ini dinamakan
dengan Al-Qadim (ada tanpa didahului sesuatu).
Adapun
wujud jenis yang menengahi adalah wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu
serta tidak pula didahului oleh waktu tapi terwujud oleh sesuatu pergerakan.
Perselisihan
mereka hanya pada waktu yang lalu atau wujud yang lalu. Mungkin akan menjadi
jelas keterangan Ibnu Rusyd yang terdapat pada mahijul adilah dalam
mengungkapkan masalah tersebut, sebagaimana ia mengatakan: “Apabila kita
memperkirakan bahwa alam ini baru maka kelanjutannya seperti yang dikatakan
oleh ulama kalam ialah bahwa alam ini mesti ada yang membuatnya. Akan tetapi
bisa timbul keragu-raguan tentang macamnya wujud zat yang membuatnya dan begitu
seterusya sampai tidak berkesudahan, dan ini adalah mustahil. Jawaban
ulama-ulama kalam bahwa perbuatan baru tersebut terjadi karena iradah
(kehendak) yang qadim tidak dapat melenyapkan keragu-raguan, karena ibadah
bukanlah perbuatan yang berhubungan dengan perkara yang diperbuat.
Jadi
pendapat para ahli kalam tentang alam tidak bersesuaian dengan makna lahirnya
syara’, melainkan mereka mentakwilkannya sebab tidak ada dalam syara’ bahwa
tuhan ada bersama dengan ketiadaan murni Al
‘adam al mahdl.
Ibnu
Rusyd menegaskan dalam Tahafut At Tahafut yakni, apabila kita dapat
membayangkan adanya wujud azali dimana perbuatan-perbuatannya tidak terlambat
dari-Nya. Sehingga yang lebih pantas bagi wujud, dimana wujudnya tidak masuk
dalam zaman dan tidak terbatas olehnya. Wujud dan perbuatannya sebagai suatu
yang sama, tidak terbatas.
b. Pengetahuan
Tuhan tentang Juz’iyyat
Imam
Al-ghazali dalam Tahafutu Al Falasifah menyatakan kekafiran kepada para filosof
disebabkan tiga hal adanya keyakinan mereka bahwa alam adalah qodim (ada tanpa
permulaan) Allah tidak mengetahui segi-segi bagian (juz’iyyat) dan
interprestasi mereka tentang kebangkitan jasmani (dari kubur) serta
kehidupannya sesudah mati.
Menanggapi
pernyataan itu Ibnu Rusyd berkomentar : Yang nampak secara lahir dari apa yang
dikatakannnya ( Al-Ghazali) bahwa pengkafiran terhadap filosuf itu tidaklah
definitif sebab itu menjelaskan dalam at tafriyah bahwa mengkafirkan orang lain
karena telah melanggar ijma’ hanya mengandung sifat tentitif belaka.
Anggapan
Al-Ghazali bahwa para filosuf berpendapat bahwa Allah sama sekali tidak mengetahui
juz’iyyat (segi-segi bagian yang terjadi di dunia) adalah keliru. Karena
sebenarnya para filosuf berpendapat bahwa Allah mengetahui juz’iyyat hanya
dengan cara yang berbeda dengan cara kita mengetahui juz’iyyat. Dan jika
perkataan pengetahuan al ilm digunakan
untuk memenangkan baik tentang pengetahuan ciptaan maupun pengetahuan bukan
ciptaan maka hal itu bisa terjadi hanya karena semata-mata kesamaan nama saja
sebagaimana banyak nama digunakan untuk hal-hal yang berlawanan seperti jalal
untuk arti maupun kecil dan shorin untuk arti besar terang dan gelap. Dengan
demikian tidak ada definisi yang meliputi kedua jenis ilmu itu sekaligus
seperti disangka oleh para ahli teologi dialektif di zaman kita ini.
Dengan
kesimpulan yang dicapai melalui Tuhan adalah ilmu Tuhan mengatasi kualifikasi
sebagai kulliyat atau juz’iyyat, jadi tidak mungkin para filosuf
beranggapan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal juz’iyyat, karena
bertentangan dengan pemikiran akal itu sendiri yang bisa diagungkan oleh para
filosuf.
c.
Akal dan Jiwa
Ibnu
Rusyd mengajukan pertanyaan yang penting : “Apakah betul itu dapat
bereksistensi tanpa materi?”. Jawabannya merupakan jalan sejati pengetahuan.
Bentuk
materi tidak dapat dipisahkan dari materi karena bentuk fisik yang istilah lain
dari bentuk materi bisa maujud hanya dalam materi. Mereka tidak kekal sebab
mereka tidak memiliki instansi kecuali dalam materi. Karenanya perpisahan jiwa
rasional, yaitu akal, hanya dapat ditunjukkan jika bisa dibuktikan bahwa akal
merupakan bentuk murni. Jiwa tidak bisa dipisah sebab ia merupakan bentuk dari
wujud alamiah organik.
Dengan
demikian jalan menuju pengetahuan yaitu lewat pengetahuan atau akal yang
membawa kepada pengetahuan mengenai hal-hal tertentu atau universal.
Pengetahuan yang sebenarnya yakni pengetahuan mengenai hal-hal yang universal,
kalau tidak maka binatang dapat dikatakan memiliki pengetahuan, istilah
pengetahuan diberlakukan secara kabur pada binatang, manusia, dan Tuhan.
Pengetahuan
manusia tidak boleh dikacaukan dengan pengetahuan manusia, sebab manusia
menyerap individu lewat indra dan menyerap yang maujud lewat akalnya.
Dua
macam pengetahuan itu sama sekali berbeda satu sama lain dan saling
bertentangan. Pengetahuan Tuhan itu kekal, sedang pengetahuan manusia itu
sementara.
Pengetahuan
mempunyai dua sifat yaitu pengetahuan yang bersifat individual dan pengetahuan
yang bersifat universal. Yang pertama merupakan hasil dari perasaan dan
imajinasi, sedang yang kedua merupakan hasil dari akal. Akal itu bersifat
teoritis dan praktis. Akal praktis lazim dimiliki semua orang. Hal-hal yang
dapat diakali secara praktis dihasilkan lewat pengalaman yang berdasarkan pada
perasaan dan imajinasi.
Lewat
akal praktisnya manusia mencintai dan membenci hidup bermasyarakat, dan
berteman. Kebajikan adalah hasil akal praktis. Kemaujudan kebajikan tidak lebih
dari kemaujudan gambaran, yang dari situ kita menuju tindakan-tindakan yang
baik secara benar: seperti berani pada tempat dan waktunya serta sesuai dengan
ukuran yang benar.[4]
D. Pasca Ibnu Rusyd
1.
NASHIRUDDIN AL-TUSI
a.
Sejarah
kehidupanya
Tusi Nama lengkapnya adalah
Khawajah Nasir al Din abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Hasan. Ia adalah
sarjana yang mahir dalam ilmu matematika, astronomi dan politik. Di kota Tus
pada tahun 1201 M/597 H. Nama ayah nya Muhammab ibn Hasan, yang mendidik Tusi
sejak pendidikan dasar.
Kemudian Tusi meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke kota Baghdad.
Di sana ia belajar tentang ilmu pengobatan dan filsafat dari guru Qutb Al din,
matematika dari Kamal Al Din ibn Yunus, dan fiqih serta ushul fiqih dari Salim
ibn Badran. Tentang karier Tusi bermula sebagai ahli Astronomi, pada
pemerintahan Nasir Al Din ‘Abd Al Rahim di benteng gunung Ismaillyah Quhistan.
Hal ini sampai masa pemerintahan ‘Ala Al Din Muhammad, Syek Agung VII dari
Alamut. Ia merupakan observatorium pertama yang banyak didukung, sehingga
dengan begitu ia membuka pintu dari komersialisasi observatorium di masa mendatang.
Kedua sebagaimana Ibnu Tafail (meninggal tahun 581 H/1185 M) yang membuat
pemerintahan khalifah ‘Abdul Al Mu’min menjadi galaksi bintang intelektual cemerlang
yang mendorong perkembangan pengetahuan dan kebijaksanaan di Barat. Tusi
membuat observatorium Maraghah menjadi suatu Majelis yang hebat terdiri atas
orang-orang yang pandai dan terpelajar dengan membuat rencana khusus untuk
pengajaran ilmu-ilmu filsafat, di samping matematika dan astronomi, dan jaga
dengan jalan menyisihkan uang sokongan itu untuk bea-siswa. Ketiga
observatorium itu dihubungkan dengan sebuah perpustakaan besar tempat
disimpanya khazanah pengetahuan yang tak terusakkan.
b.
Hasil
Karyanya
Tusi
disebut sebagai sarjana yang mahir dari pada seorang ahli pikir yang kreatif,
dan kedudukannya terutama sebagai seorang penganjur gerakan kebangkitan
kembali sementara karya-karyanya
kebanyakan bersifat eklektis. Kepandaiannya yang beragam sungguh mengagumkan.
Minatnya yang banyak dan berjenis-jenis mencangkup filsafat, matematika, astronomi,
fisika, ilmu pengobatan, minerologi, musik, sejarah kesastraan, dan dogmatik.
c. Filsafat
Ajarannya
a) Logika
Tusi
menganggap logika suatu ilmu dan suatu alat ilmu. Sebagai ilmu, ia memehami
makna-makna dan sifat dari makna yang di fahami itu. Adapun sebagai alat ia
menjadikan kunci untuk memahami berbagai ilmu. Kemudian setelah mendefinisikan
logika ia memulai dengan pembahasan pendek mengenai ilmu pengetahuan. Semua pengetahuan
adalan suatu konsep tashawwur atau
penilaian tashdiq, yang pertama
didapat melalui definisi sedang yang kedua melalui silogisme. Jadi definisi dan
silogisme merupakan dua alat yang digunakan untuk mencapai ilmu pengetahuan.
Dengan demikian logika sebagai hukum untuk berfikiran tepat. Tusi merumuskan
dengan sederhana, yakni menghasilkan pengetahuan yang benar melalui dua alat
tersebut.
Pandangan Tusi pada logika identik
dengan para filosuf sebelumnya seperti Aritoteles, Al Farabi atau Ibnu Sina.
Tetapi
menurut pandangan Ibnu Sina, silogisme yang memberikan pada kepastian adalah
argumentasi, dan ia harus memenuhi dua syarat yaitu bersifat universal dan
keharusan .Dari sini nampaklah bahwa Tusi mengikuti Ibnu Sina dalam pengkajian
lapangan logika meskipun mempunyai cara yang berbeda.
b) Etika/Akhlak
Kebahagiaan
utama merupakan tujuan utama, kebahagiaan ditentukan oleh tempat dan kedudukan
manusia didalam evolusi alam dan diwujudkan melalui kesediaanya untuk
berdisplin dan patuh. Menurut Plato kebaikan kebaikan itu menyangkut
kebijaksanaan, keberanian, kesadaran, dan keadilan. Tusi dalam menempatkan
kebajikan-kebajikan itu bukan berasal dari teori yang dikemukakan Plato,
melainkan dari akal praktis dari teori pembedaan yang dibuat Aristoteles yang
membedakan jiwa pada akal teoritis, akal praktis, kemarahan, dan hasrat.
Inilah kajian
global filsafat praktis yang dikemukakan Tusi yang kebanyakan bersumberkan pada
ajaran islam meski ada beberapa persoalan yang sesuai dengan filosuf-filosuf
Yunani terutama Aritoteles. Hal ini Tusi mengambilnya karena secara esensial tidak
bertentangan dengan apa yang terdapat pada Al-Qur’an.
c) Metafisika
Metafisika
terdiri atas tiga bagian ilmu ketuhanan ilmu illahi dan filsafat pertama filsafat al ula. Demikian kata Tusi,
ilmu ketuhanan meliputi pengetahuan tentang Tuhan, akal, dan jiwa. Sedangkan filsafat pertama
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta. Pengetahuan tentang
kelompok-kelompok ketunggalan dan majemukan, kepastian dan kemungkinan esensi
dan eksistensi, kekekalan dan ketidakkekalan juga membentuk bagian dari
filsafat pertama itu. Dan metafisika ini cabangnya termasuk pengetahuan
kenabian nubuwwat, kepemimpinan
spiritual imamat dan hari pengadilan qiamat.
Menurut
Tusi, logika, dan metafisika sama sekali tidak dapat membuktikan eksistensi
Tuhan secara rasional. Hal ini bertentangan pendapatnya dengan Al Farabi, Ibnu
Muhammad Maskawiyah, Al Kindi ataupun Ibnu Sina. Karena baginya tidak
bergantung kepada bukti-bukti logis, padahal bukti-bukti tersebut merupakan
dasar dari logika dan metafisika. Eksistensi Tuhan harus diterima dengan suatu
fastulat, tanpa harus dibuktikan. Eksistensi Tuhan bagi Tusi sebagai suatu postulat,
ia harus diterima, bukannya harus dibuktikan. Pembuktian
eksistensi-Nya/wujud-Nya bagi manusia adalah mustahil, karena pemahaman manusia
tentang wujud-Nya adalah sangat terbatas. Jadi meskipun Tusi membagi metafisika
atas ilmu ketuhanan dan filsafat ilmu pertama, tapi didalamnya tidak mencangkup
kanjian pembuktian eksistensi Tuhan,karena
ini diluar batas kemampuan pembuktian manusia.
Ia
menganggap bahwa Tuhan adalah sebagai pencipta yang bebas dengan penimbangan
teori mengenai penciptaan karena desakan. Apabila Tuhan menciptakan karena Ia
butuh menciptakan berarti tindakan-tindakannya tentu berasal dari
eksistensinya. Jadi apabila satu bagian dari alam ini menjadi tak maujud, maka
esensi Tuhan itu tentu juga menjadi tiada, karena penyebab keberadaannya
ditentukan oleh ketidakadaan satu bagian dari penyebabnya, dan seterusnya, dan
karena semua yang ada itu bergantung kepada perlunya Tuhan, maka ketiadaan
mereka akhirnya menjadi ketiadaan Tuhan sendiri.
d) Kejiwaan
Tusi
mengemukakan asumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa terbukti
sendiri, dan karena itu tidak memerlukan lagi bukti lain, lagi pula jiwa tidak
bisa dibuktikan. Jiwa mempunyai sifat sebagai subtansi sederhana dan immaterial
yang dapat merasa sendiri. Ia mengontrol tubuh melalui otot-otot tubuh dan
alat-alat perasa., tapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh.
Penilaian atas logika, fisika, matematika, theologi dan sebagainya, semuanya
ada didalam satu jiwa tanpa tercampur-baur, dan dapat diingat dengan kejelasan
yang khas, yang mustahil ada didalam suatu subtansi material. Dapat dikatakan
bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk menempatkan semua gagasan konsep
obyek-obyek yang dikenalnya ke dalam banyak orang agar siap pada waktu
diperlukan. Ini juga membuktikan bahwa jiwa merupakan suatu subtansi yang
sederhana dan immaterial.
e)
Politik
Tusi
mengikuti pendapat karya al Farabi Siyasah al-Madinahdan Ara’ Ahl al-Madinah al
Fadhilah adalah upaya pertama untuk merumuskan secara filosofis teori politik
didunia muslim. Al Farabi menggunakan istilah ‘ilm al-Madani baik dalam arti
ilmu kemasyarakatan maupun ilmu pemerintahan. Tusi juga memakai istilah
siasat-i mudun dalam dua arti tersebut. Sebenarnya sikapnya terhadap masyarakat
negara tamaddun, kelompok sosial dan
kota terutama berasal dari pandangan Al Farabi tetang hal itu.
Manusia
pada dasarnya adalah makhluk sosial. Untuk memperkuat sikapnya, Tusi mengacu
pada istilah insan, sebuah kata Arab yang berarti Manusia, yang secara harfiah
berarti yang suka berkumpul dan berhubungan.
e) Ilmu Rumah
Tangga
Tusi
mendefinisikan rumah manzil sebagai
hubungan istimewa antara suami dan istri, orang tua dan anak, tuan dan hamba,
serta kekayaan dan pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga tadbir-i manzil adalah mengembangkan sistem disiplin yang mendorong
terciptanya kesejahteraan fisik, sosial, dan memtal kelompok utama ini, dengan
ayah sebagai pemegang kendalinya. Fungsi ayah adalah memperbaiki dan menjaga
keseimbangan keluarga.
Kekayaan
diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan pokok pemeliharaan-diri serta
pemeliharaan-keturunan. Tusi menganggap menabung harta sebagai tindakan yang
bijaksana, asalkan hal itu tidak didorong olek sifat tamak dan kikir. Bukan
kepuasan syahwat, tapi kekayaan dan perlindungan atas kepemilikanlah yang
menjadi tujuan pokok perkawinan. Intelgensi, Integritas, kemurnian,
kesederhanaan, kecerdasan dan kerendahan hati, dan terlebih kepatuhan terhadap
suami merupakan sifat-sifat yang harus ada pada diri seorang istri.
Ringkasannya, bagi Tusi, rumah adalah pusat kehidupan
keluarga. Pemasukan, tabungan, pengeluaran dan disiplin istri, anak serta
pelayan, semuanya merupakan pencipta kesejahteraan keluarga.
f) Kenabian
Tusi
menetapkan perlunya kenabian dan kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat
serta individu mengakibatkan tercerai-berainya kehidupan sosial, dan ini
memerlukan aturan suci dari Tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia. Tapi
Tuhan sendiri berada diluar jangkauan indera, oleh karena itu ia menutus para
nabi untuk menuntun orang-orang. Ini, pada gilirannya, pranatan kepemimpinan
spiritual setelah para nabi itu untuk menerapkan aturan suci terrsebut.
g) Baik dan
Buruk
Menurut
Tusi, yang baik datang dari Tuhan, sedang yang buruk muncul sebagai kebetulan ‘ard dalam perjalanan yang baik itu.
Kebaikan, misalnya, merupakan bijih gandum yang ditaburkan di atas tanah dan disirami
sehingga tumbuh menjadi tanaman yang menghasilkan panen yang melimpah.
Keburukan itu seperti busa yang muncul seberti busa yang muncul di atas
permukaan air. Busa jelas berasal dari gerakan air, bukan dari air itu sendiri.
Dengan begitu tidak ada prinsip buruk di dunia ini, tapi sebagai suatu kebetulan ia merupakan
suatu kebetulan yang diperlukan atau hasil dari suatu hal. Penilaian kita
keburukan selalu relatif sifatnya dan metaforis, yaitu penilaian mengacu kepada
sesuatu.
2.
MUHAMMAD
IQBAL
Muhammad
Iqbal lahir pada tanggal 22 februari 1873 di Sialkot, Punjab dari keluarga yang
nenek moyangnya berasal dari lembah Kashmir. Setelah menamatkan sekolah dasar
di kampung kelahirannya pada tahun 1895 ia segera melanjutkan pelajaran di
Lahore. Ia telah mendapat binaan dan gemblengan dengan jiwa muda yang berhati
baja olah Maulana Mir Hasan seorang ulama militan yang kawakan, teman ayahnya.
Iqbal
telah pula memberanikan diri mendeklamasikan sajaknya tentang Himalaya, di hadapan para anggota terkemuka
organisasi sastra di Labore. Semangat patriotisme tampak sekali dalam sajak
yang ditampilkan itu, sehingga karena api semangatnya membara, mendapat
sambutan yang luar biasa, mempersonakan dan memukau kalangan sastra. Seorang
orientalis yang bernama Sir Thomas W. Arnold yang yang memiliki pandangan yang
lain terhadap Islam adalah termasuk pula gurunya. Ia melihat akan kecerdasan
Iqbal dan menyarankan agar Iqbal agar sudi melanjutkan studinya ke Eropa. Saran
tersebut dilaksanakan sehingga pada tahun 1905 Iqbal melanjutkan studinya di
Fakultas Hukum Universitas Cambridge Inggris hingga kemudian memperoleh gelar
kesarjanaan dalam ilmu tersebut.
Tertarik
akan ilmu filsafat, ia juga sempat mengenyam tingkat doktoral dalam filsafat
modern pada Universitas Munich di Jerman dengan disertai The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika
di Persia) dengan nilai yang sangat memuaskan. Diantara pemikiran-pemikiran
Iqbal yang menarik adalah pentingnya arti dinamika dalam hidup. Tujuan akhir
setiap manusia ialah hidup, keagungan, kekuatan dan kegairahan. Semua kemampuan
manusia harus berada dibawah tujuan ini, dan nilai segalanya harus ditentukan
sebagai kecakapan hidup yang dihasilkannya. Mutu seni yang tinggi ialah yang
dapat menggunakan kemajuan yang sedang tidur mendorong kita menghadapi cobaan-cobaan
manusiawi. Segala yang membawa pengaruh hidup, kelesuan yang membuat kita menutup
mata terhadap kenyataan disekeliling kita, yang karena itu saja hidup
bergantung, maka itu adalah suatu ajakan yang akan menjerumuskan orang kedalam
kehancuran dan maut.
Sebagian
besar karya Iqbal telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa seperti Jerman,
Prancis, Inggris, Arab, Rusia, Itali dan
lain-lain, sedangkan Iqbal sendiri menguasai beberapa bahasa Urdu dan
Persia, juga bahasa Inggris, Prancis dengan baik, disamping bahasa Arab dan
Sansekerta. Sebuah Universitas tertua dijepang, sempat pula dalam tahun 1922
menganugrahi gelar Sir. Universitas Tokyo dan beberapa waktu menganugrahkan
gelar Doktor anumerta di bidang sastra, yang pertama kalinya dilakukan oleh
Universitas Tokyo.
3.
MULLA
SADRA
Mulla
Sadra mempunyai nama lengap Shadar Al-Din Syirazi. Beliau lahir pada tahun 1572
M di Syiraz. Kemudian dia pindah ke Jisfahan, sebuah kota pusat kebudayaan yang
penting pada masa itu, dan melanjutkan studinya pada Mir Damad Mir Abul Qasim
Fendereski (wafat 1640). Tetapi akhirnya ia kembali ke Syraz sebagai guru pada
sekolah agama (madrasah) yang didirikan oleh gubernur Propinsi Fars. Ia telah
berziarah tujuh kali ke Mekkah dengan berjalan kaki dan meninggal di Basharah
pada tengah perjalanan sepulang naik haji yang ketujuh kalinya pada tahun
1641M.
Al-Syirazi
membagi filsafat kepada dua bagian utama pertama yang bersifat teoritis yang
mengacu kepada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya. Dan yang
ke dua yang bersifat praktis yang mengacu pada pencapaian
kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Perwujudan kegiatan pertama
ialah pencapaian tujuan akhir semua pengejaran teoritis, yakni yang menyalin atau
mencerminkan dunia akali yang dengannya jiwa menjadi sebuah dunia akali bagi
dirinya sendiri, seperti yang telah diajukan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina.
Perwujudan kedua ialah mendekatkan diri kepada Tuhan dengan semacam imitato Deo yang membuat jiwa berhak
memperoleh sesuatu hak istimewa seperti itu. Untuk memperkuat argumentasi ini
ia mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits-hadits Nabi dan ucapan-ucapan Imam
syiah pertama, yakni Ali. Di tempat manapun ia tidak mengajukan tempat
keberatan atau kualifikasi yang oleh para penulis Sunni tentang masalah teologi
ini dirasakan perlu dinyatakan ketika berbicara tentang hubungan antara
filsafat dengan dogma. Seperti Al-Suhrawardi, Al-Syirazipun percaya kepada
kesatuan kebenaran yang dilahirkan melalui mata rantai yang bersinambungan dari
mulai Adam, Ibrahim, orang-orang Yunani, para sufi Islam dan para Filosof.
Dalam risalahnya yang lain ia melukiskan secara panjang lebar sebagaimana Seth
dan Hermes (Yang dapat disamakan dengan Idris dalam Al-Qur’an dan enoch dalam Injil)
bertanggungjawab atas penyebaran pengkajian kebijakan (Al-Hikmah) ke seluruh
dunia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Zaman Pra Ibnu Rusyd
dianggap sebagai sebuah masa ketika manusia Eropa-para intelektual dan
filsuf-berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang
sepenuhnya dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan.
Ibnu
Rusyd oleh Dante dalam Difine Comediannya menyebutnya “Sang Komentator”karena
ia di anggap sebagai komentator terbesar atas karya-karya Aristoteles
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Hamdi,
Ahmad Zainul. 2004. Tujuh Filsuf
Al-Aqqad,
Abbas Mahmud. 2003. Ibnu Rusyd.
Yogyakarta: QIRTAS
Mustafa,
Ahmad. 2009. Filsafat Islam. Bandung:
Pustaka Setia
0 komentar:
Posting Komentar