welcom

Selamat datang ... Semoga bermafaat !!!

Jumat, 25 April 2014

Makalah Filsafat Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
          Filsafat termasuk ilmu pengetahuan yang paling luas cakupannya, begitu juga filsafat islam. Filsafat Islam meliputi problematika yang satu dengan yang banyak, menyelesaikan korelasi antara Allah dengan para makhluk-Nya, sebagai problematika yang menyulut perdebatan panjang dikalangan para Mutakalimin.
Kegiatan filsafat kerat kaitannya dengan intelek al-Aql.
          Sementara kegiatan agama banyak berkaitan dengan spirit al-ruh. Filsafat  Islam merupakan suatu komponen penting dalam tradisi intelektual islam. Disisi lain, para filosof muslim memiliki penghayatan spiritual yang sama mendalamnya, seperti gnostik (‘urafa)- pengetahuan yang diperoleh tidak melalui pemikiran tetapi masuk langsung kedalam benak yang dikandung oleh para sufi. Lebih dari itu Filsafat Islam telah memainkan suatu peranan penting dalam perkembangan kegiatan penafsiran kitab suci (kalam), tidak seperti Matematika dan Astronomi dan ilmu lainnya. Filsafat dapat memberi inspirasi bagi berbagai perkembangan pemahaman konsep-konsep agama islam.
          Ajaran filsafat yang dikemukakan oleh sebagian besar filsuf muslim awal adalah apa yang dikenal dengan filsafat paripatetik.[1] Ajaran ini merupakan sintensis ajaran-ajaran wahyu islam, filsafat aristotelian dan neoplatonisme, baik yang berkembang di Athena maupun di Alexandria. Ajaran ini dimulai pada abad 3H/9M dalam iklim intelektual yang kaya di baghdad oleh al-Kindi. Filsafat paripatetik ini kemudian di kembangkan oleh penerus al-Kindi seperti Al-Farabi dan Yahya Ibnu Adi. Selanjutnya perkembangan filsafat paripatetik makin memuncak sampai pada masa Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
B.   Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Filsafat islam ?
2. Bagaimana filsafat islam pra Ibn Rusyd ?
3. Bagaimana Fisafat islam pada masa ibn Rusyd ?
4. Bagaimana Filsafat Pasca Ibn Rusyd ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Filsafat  Islam
          Filsafat islam merupakan suatu komponen penting dalam tradisi intelektual islam. Filsafat islam berupaya memadukan antara wahyu dengan akal, antara aqidah dengan hikmah, antara agama dengan filsafat, dan berupaya menjelaskan kepada manusia bahwa  (a) wahyu tidak bertentangan dengan akal, (b) aqidah jika diterangi dengan sinar filsafat akan menetap di dalam jiwa dan akan kokoh di hadapan lawan, (c) agama jika bersaudara dengan filsafat menjadi religius. Karena filsafat islam dilahirkan oleh lingkungan dimana ia hidup dan tidak terlepas dari kondisi yang melingkupi, maka filsafat islam sebagaimana yang nampak adalah filsafat religius/spiritual.
B.       Pra Ibnu Rusyd
          Era Pra Ibnu Rusyd dianggap sebagai sebuah masa ketika manusia Eropa-para intelektual dan filsuf-berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang sepenuhnya dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan. Upaya ini merupakan sebuah respons yang benih-benihnya telah disemai oleh para tokoh Renaisans dan Reformasi abad ke-15 dan ke-16. Kaum ensiklopedis seperti Diderot dan Voltaire meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan pendidikan adalah cara terbaik mengatasi keyakinan-keyakinan akan mitos, takhayul, dan kebodohan. Para aktivis Pencerahan kerap memandang diri mereka sebagai intelektual bebas yang mendorong dunia ke arah kemajuan dan perubahan yang lebih baik.
Dalam artikelnya berjudul Was ist Aufklärung? (Apakah Itu Pencerahan?), Immanuel Kant, tokoh penting Pencerahan itu, memberi definisi sangat jelas. Pada hematnya, pencerahan adalah: keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang diciptakannya sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah ketidakmampuan seseorang menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain. Ketidakmatangan semacam ini terjadi bukan karena kurangnya daya pikir, tetapi karena kurangnya determinasi dan keberanian menggunakan pemahaman sendiri. Moto pencerahan, dengan demikian, adalah Sapere aude! Beranilah menggunakan pemahaman sendiri! (Kant, What is Enlightenment?, 1990).
          Seperti bisa dilihat, selain menekankan pada kata keluarnya ausgang, Kant juga memberi penekanan pada ketidakmatangan unmündigkeit serta determinasi dan keberanian entschliebung und mut yang merefleksikan dua karakter berbeda dari sifat manusia. Penggunaan akal bebas ditekankan sebesar-besarnya yang oleh Kant kemudian diberikan prasyarat tambahan: keberanian.

C.      Masa Ibnu Rusyd
          Abu Ya’la Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd (1126-1198), atau yang lebih terkenal dengan sebutan ibnu Rusyd atau Averroes,adalah filosuf muslim barat terbesar di abad pertengahan. Dia adalah pendiri pikiran merdeka sehingga memiliki pengaruh yang sangat tinggi di Eropa. Ia lahir di kota Cordova pada tahun 520 H/1126 M.
          Ibnu Rusyd oleh Dante dalam Difine Comediannya menyebutnya “Sang Komentator” karena ia di anggap sebagai komentator terbesar atas karya-karya Aristoteles.[2] Secara resmi Ibnu Rusyd memang diminta oleh Amir Abu Ya’la Yaqub Yusuf untuk menulis komentar antar berbagai karya Aristoteles, dan dia membuat tiga kategori komentar : Ringkasan jami’, komentar singkat talkhis, dan komentar detail syara’ atau tafsir.
          Akan tetapi untuk jangka waktu yang sangat lama, di dunia muslim Ibnu Rusyd tidak dikenal karena komentar-komentar terhadap karya-karya Aristoteles, tetapi karena Tahafut  At Tahafutnya yang ditulisnya sebagai bantahan terhadap buku Al-Ghazali, Tahafut Al Falasifah. Komentar-komentarnya banyak berada di dunia Yahudi dan Kristen sehingga kebanyakan komentar-komentarnya tidak lagi ditemukan dalam bahasa Arab, tetapi sudah dalam bentuk terjemahan bahasa Hebrew atau Latin.
          Ibnu Rusyd sangat mengagumi logika Aristoteles. Karena penghormatannya yang sangat tinggi terhadap Aristoteles Ibnu Rusyd harus membayar sangat mahal. Dia diserang oleh kaum ortodoks karena usahanya untuk menyejajarkan ajaran Aristoteles dengan ajaran islam. Para teolog merasa bahwa Ibnu Rusyd dalam rangka untuk merekonsiliasi dogma islam dengan filsafat Aristoteles, telah menodai ajaran islam. Mereka sangat murka terhadap Ibnu Rusyd dan menuduhnya telah murtad karean isi filsafatnya yang dianggap sangat bertentangan dengan pelajaran agama islam yang umum. Ia dibuang tahun 593 H/1196 M dan diasingkan ke Lucena, dekat Cordova, serta buku-bukunya dibakar di muka umum. Dan dia dibebaskan pada tahun 595 H/1198 M.
a.         Keabadian Alam (Qidam Al-Alam)
            Apakah alam ini qodim ( ada tanpa permulaan ) ataukah hadits (ada setelah tiada), maka menurut Ibnu Rusyd perselisihan antara kalam teolog pengikut Asy’ariyah dan para filosuf klasik hampir bisa dikembalikan pada perselisihan mengenai penamaan saja, khususnya dari beberapa orang filosuf  saja. Sebab mereka telah sepakat adanya tiga macam wujud yaitu yang dua bersifat extrim dan yang satu merupakan pengetahuan dari keduanya.[3]
            Ekstrim pertama adalah wujud yang terjadi dari sesuatu selain adanya dan oleh sesuatu yang lain, yakni oleh suatu sebab penggerak ada dari suatu bahan tertentu, dan wujud ini dalam kewujudannya didahului oleh waktu. Inilah keadaan benda-benda yang dapat diketahui dengan indra. Wujud ini dinamakan hadits (ada setelah tiada).
            Ekstrim yang kedua adalah wujud yang adanya tidak berasal dari maupun disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak pula melalui oleh waktu. Wujud ini dinamakan dengan Al-Qadim (ada tanpa didahului sesuatu).
            Adapun wujud jenis yang menengahi adalah wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului oleh waktu tapi terwujud oleh sesuatu pergerakan.
            Perselisihan mereka hanya pada waktu yang lalu atau wujud yang lalu. Mungkin akan menjadi jelas keterangan Ibnu Rusyd yang terdapat pada mahijul adilah dalam mengungkapkan masalah tersebut, sebagaimana ia mengatakan: “Apabila kita memperkirakan bahwa alam ini baru maka kelanjutannya seperti yang dikatakan oleh ulama kalam ialah bahwa alam ini mesti ada yang membuatnya. Akan tetapi bisa timbul keragu-raguan tentang macamnya wujud zat yang membuatnya dan begitu seterusya sampai tidak berkesudahan, dan ini adalah mustahil. Jawaban ulama-ulama kalam bahwa perbuatan baru tersebut terjadi karena iradah (kehendak) yang qadim tidak dapat melenyapkan keragu-raguan, karena ibadah bukanlah perbuatan yang berhubungan dengan perkara yang diperbuat.
            Jadi pendapat para ahli kalam tentang alam tidak bersesuaian dengan makna lahirnya syara’, melainkan mereka mentakwilkannya sebab tidak ada dalam syara’ bahwa tuhan ada bersama dengan ketiadaan murni Al ‘adam al mahdl.
            Ibnu Rusyd menegaskan dalam Tahafut  At Tahafut yakni, apabila kita dapat membayangkan adanya wujud azali dimana perbuatan-perbuatannya tidak terlambat dari-Nya. Sehingga yang lebih pantas bagi wujud, dimana wujudnya tidak masuk dalam zaman dan tidak terbatas olehnya. Wujud dan perbuatannya sebagai suatu yang sama, tidak terbatas.
b.    Pengetahuan Tuhan tentang Juz’iyyat
            Imam Al-ghazali dalam Tahafutu Al Falasifah menyatakan kekafiran kepada para filosof disebabkan tiga hal adanya keyakinan mereka bahwa alam adalah qodim (ada tanpa permulaan) Allah tidak mengetahui segi-segi bagian (juz’iyyat) dan interprestasi mereka tentang kebangkitan jasmani (dari kubur) serta kehidupannya sesudah mati.
            Menanggapi pernyataan itu Ibnu Rusyd berkomentar : Yang nampak secara lahir dari apa yang dikatakannnya ( Al-Ghazali) bahwa pengkafiran terhadap filosuf itu tidaklah definitif sebab itu menjelaskan dalam at tafriyah bahwa mengkafirkan orang lain karena telah melanggar ijma’ hanya mengandung sifat tentitif belaka.
            Anggapan Al-Ghazali bahwa para filosuf berpendapat bahwa Allah sama sekali tidak mengetahui juz’iyyat (segi-segi bagian yang terjadi di dunia) adalah keliru. Karena sebenarnya para filosuf berpendapat bahwa Allah mengetahui juz’iyyat hanya dengan cara yang berbeda dengan cara kita mengetahui juz’iyyat. Dan jika perkataan pengetahuan al ilm digunakan untuk memenangkan baik tentang pengetahuan ciptaan maupun pengetahuan bukan ciptaan maka hal itu bisa terjadi hanya karena semata-mata kesamaan nama saja sebagaimana banyak nama digunakan untuk hal-hal yang berlawanan seperti jalal untuk arti maupun kecil dan shorin untuk arti besar terang dan gelap. Dengan demikian tidak ada definisi yang meliputi kedua jenis ilmu itu sekaligus seperti disangka oleh para ahli teologi dialektif di zaman kita ini.
            Dengan kesimpulan yang dicapai melalui Tuhan adalah ilmu Tuhan mengatasi kualifikasi sebagai kulliyat atau juz’iyyat, jadi tidak mungkin para filosuf beranggapan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal juz’iyyat, karena bertentangan dengan pemikiran akal itu sendiri yang bisa diagungkan oleh para filosuf.
c.                 Akal dan Jiwa
              Ibnu Rusyd mengajukan pertanyaan yang penting : “Apakah betul itu dapat bereksistensi tanpa materi?”. Jawabannya merupakan jalan sejati pengetahuan.
              Bentuk materi tidak dapat dipisahkan dari materi karena bentuk fisik yang istilah lain dari bentuk materi bisa maujud hanya dalam materi. Mereka tidak kekal sebab mereka tidak memiliki instansi kecuali dalam materi. Karenanya perpisahan jiwa rasional, yaitu akal, hanya dapat ditunjukkan jika bisa dibuktikan bahwa akal merupakan bentuk murni. Jiwa tidak bisa dipisah sebab ia merupakan bentuk dari wujud alamiah organik.
              Dengan demikian jalan menuju pengetahuan yaitu lewat pengetahuan atau akal yang membawa kepada pengetahuan mengenai hal-hal tertentu atau universal. Pengetahuan yang sebenarnya yakni pengetahuan mengenai hal-hal yang universal, kalau tidak maka binatang dapat dikatakan memiliki pengetahuan, istilah pengetahuan diberlakukan secara kabur pada binatang, manusia, dan Tuhan.
              Pengetahuan manusia tidak boleh dikacaukan dengan pengetahuan manusia, sebab manusia menyerap individu lewat indra dan menyerap yang maujud lewat akalnya.
Dua macam pengetahuan itu sama sekali berbeda satu sama lain dan saling bertentangan. Pengetahuan Tuhan itu kekal, sedang pengetahuan manusia itu sementara.
              Pengetahuan mempunyai dua sifat yaitu pengetahuan yang bersifat individual dan pengetahuan yang bersifat universal. Yang pertama merupakan hasil dari perasaan dan imajinasi, sedang yang kedua merupakan hasil dari akal. Akal itu bersifat teoritis dan praktis. Akal praktis lazim dimiliki semua orang. Hal-hal yang dapat diakali secara praktis dihasilkan lewat pengalaman yang berdasarkan pada perasaan dan imajinasi.
              Lewat akal praktisnya manusia mencintai dan membenci hidup bermasyarakat, dan berteman. Kebajikan adalah hasil akal praktis. Kemaujudan kebajikan tidak lebih dari kemaujudan gambaran, yang dari situ kita menuju tindakan-tindakan yang baik secara benar: seperti berani pada tempat dan waktunya serta sesuai dengan ukuran yang benar.[4]
D.      Pasca Ibnu Rusyd
1.      NASHIRUDDIN  AL-TUSI
a.    Sejarah kehidupanya
Tusi Nama lengkapnya adalah Khawajah Nasir al Din abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad ibn Hasan. Ia adalah sarjana yang mahir dalam ilmu matematika, astronomi dan politik. Di kota Tus pada tahun 1201 M/597 H. Nama ayah nya Muhammab ibn Hasan, yang mendidik Tusi sejak pendidikan dasar.
  Kemudian Tusi meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke kota Baghdad. Di sana ia belajar tentang ilmu pengobatan dan filsafat dari guru Qutb Al din, matematika dari Kamal Al Din ibn Yunus, dan fiqih serta ushul fiqih dari Salim ibn Badran. Tentang karier Tusi bermula sebagai ahli Astronomi, pada pemerintahan Nasir Al Din ‘Abd Al Rahim di benteng gunung Ismaillyah Quhistan. Hal ini sampai masa pemerintahan ‘Ala Al Din Muhammad, Syek Agung VII dari Alamut. Ia merupakan observatorium pertama yang banyak didukung, sehingga dengan begitu ia membuka pintu dari komersialisasi observatorium di masa mendatang. Kedua sebagaimana Ibnu Tafail (meninggal tahun 581 H/1185 M) yang membuat pemerintahan khalifah ‘Abdul Al Mu’min menjadi galaksi bintang intelektual cemerlang yang mendorong perkembangan pengetahuan dan kebijaksanaan di Barat. Tusi membuat observatorium Maraghah menjadi suatu Majelis yang hebat terdiri atas orang-orang yang pandai dan terpelajar dengan membuat rencana khusus untuk pengajaran ilmu-ilmu filsafat, di samping matematika dan astronomi, dan jaga dengan jalan menyisihkan uang sokongan itu untuk bea-siswa. Ketiga observatorium itu dihubungkan dengan sebuah perpustakaan besar tempat disimpanya khazanah pengetahuan yang tak terusakkan.
b.   Hasil Karyanya
            Tusi disebut sebagai sarjana yang mahir dari pada seorang ahli pikir yang kreatif, dan kedudukannya terutama sebagai seorang penganjur gerakan kebangkitan kembali  sementara karya-karyanya kebanyakan bersifat eklektis. Kepandaiannya yang beragam sungguh mengagumkan. Minatnya yang banyak dan berjenis-jenis mencangkup filsafat, matematika, astronomi, fisika, ilmu pengobatan, minerologi, musik, sejarah kesastraan, dan dogmatik.
c. Filsafat Ajarannya
a) Logika
            Tusi menganggap logika suatu ilmu dan suatu alat ilmu. Sebagai ilmu, ia memehami makna-makna dan sifat dari makna yang di fahami itu. Adapun sebagai alat ia menjadikan kunci untuk memahami berbagai ilmu. Kemudian setelah mendefinisikan logika ia memulai dengan pembahasan pendek mengenai ilmu pengetahuan. Semua pengetahuan adalan suatu konsep tashawwur atau penilaian tashdiq, yang pertama didapat melalui definisi sedang yang kedua melalui silogisme. Jadi definisi dan silogisme merupakan dua alat yang digunakan untuk mencapai ilmu pengetahuan. Dengan demikian logika sebagai hukum untuk berfikiran tepat. Tusi merumuskan dengan sederhana, yakni menghasilkan pengetahuan yang benar melalui dua alat tersebut.
Pandangan Tusi pada logika identik dengan para filosuf sebelumnya seperti Aritoteles, Al Farabi atau Ibnu Sina.
            Tetapi menurut pandangan Ibnu Sina, silogisme yang memberikan pada kepastian adalah argumentasi, dan ia harus memenuhi dua syarat yaitu bersifat universal dan keharusan .Dari sini nampaklah bahwa Tusi mengikuti Ibnu Sina dalam pengkajian lapangan logika meskipun mempunyai cara yang berbeda.
b) Etika/Akhlak
            Kebahagiaan utama merupakan tujuan utama, kebahagiaan ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia didalam evolusi alam dan diwujudkan melalui kesediaanya untuk berdisplin dan patuh. Menurut Plato kebaikan kebaikan itu menyangkut kebijaksanaan, keberanian, kesadaran, dan keadilan. Tusi dalam menempatkan kebajikan-kebajikan itu bukan berasal dari teori yang dikemukakan Plato, melainkan dari akal praktis dari teori pembedaan yang dibuat Aristoteles yang membedakan jiwa pada akal teoritis, akal praktis, kemarahan, dan hasrat.
Inilah kajian global filsafat praktis yang dikemukakan Tusi yang kebanyakan bersumberkan pada ajaran islam meski ada beberapa persoalan yang sesuai dengan filosuf-filosuf Yunani terutama Aritoteles. Hal ini Tusi mengambilnya karena secara esensial tidak bertentangan dengan apa yang terdapat pada Al-Qur’an.
c) Metafisika
            Metafisika terdiri atas tiga bagian  ilmu ketuhanan ilmu illahi dan filsafat pertama filsafat al ula. Demikian kata Tusi, ilmu ketuhanan meliputi pengetahuan tentang Tuhan,  akal, dan jiwa. Sedangkan filsafat pertama meliputi hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan majemukan, kepastian dan kemungkinan esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidakkekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama itu. Dan metafisika ini cabangnya termasuk pengetahuan kenabian nubuwwat, kepemimpinan spiritual imamat dan hari pengadilan qiamat.
             Menurut Tusi, logika, dan metafisika sama sekali tidak dapat membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional. Hal ini bertentangan pendapatnya dengan Al Farabi, Ibnu Muhammad Maskawiyah, Al Kindi ataupun Ibnu Sina. Karena baginya tidak bergantung kepada bukti-bukti logis, padahal bukti-bukti tersebut merupakan dasar dari logika dan metafisika. Eksistensi Tuhan harus diterima dengan suatu fastulat, tanpa harus dibuktikan. Eksistensi Tuhan bagi Tusi sebagai suatu postulat, ia harus diterima, bukannya harus dibuktikan. Pembuktian eksistensi-Nya/wujud-Nya bagi manusia adalah mustahil, karena pemahaman manusia tentang wujud-Nya adalah sangat terbatas. Jadi meskipun Tusi membagi metafisika atas ilmu ketuhanan dan filsafat ilmu pertama, tapi didalamnya tidak mencangkup kanjian pembuktian eksistensi Tuhan,karena ini diluar batas kemampuan pembuktian manusia.
            Ia menganggap bahwa Tuhan adalah sebagai pencipta yang bebas dengan penimbangan teori mengenai penciptaan karena desakan. Apabila Tuhan menciptakan karena Ia butuh menciptakan berarti tindakan-tindakannya tentu berasal dari eksistensinya. Jadi apabila satu bagian dari alam ini menjadi tak maujud, maka esensi Tuhan itu tentu juga menjadi tiada, karena penyebab keberadaannya ditentukan oleh ketidakadaan satu bagian dari penyebabnya, dan seterusnya, dan karena semua yang ada itu bergantung kepada perlunya Tuhan, maka ketiadaan mereka akhirnya menjadi ketiadaan Tuhan sendiri.
d) Kejiwaan
            Tusi mengemukakan asumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa terbukti sendiri, dan karena itu tidak memerlukan lagi bukti lain, lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan. Jiwa mempunyai sifat sebagai subtansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Ia mengontrol tubuh melalui otot-otot tubuh dan alat-alat perasa., tapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh. Penilaian atas logika, fisika, matematika, theologi dan sebagainya, semuanya ada didalam satu jiwa tanpa tercampur-baur, dan dapat diingat dengan kejelasan yang khas, yang mustahil ada didalam suatu subtansi material. Dapat dikatakan bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk menempatkan semua gagasan konsep obyek-obyek yang dikenalnya ke dalam banyak orang agar siap pada waktu diperlukan. Ini juga membuktikan bahwa jiwa merupakan suatu subtansi yang sederhana dan immaterial.
e) Politik
            Tusi mengikuti pendapat karya al Farabi Siyasah al-Madinahdan Ara’ Ahl al-Madinah al Fadhilah adalah upaya pertama untuk merumuskan secara filosofis teori politik didunia muslim. Al Farabi menggunakan istilah ‘ilm al-Madani baik dalam arti ilmu kemasyarakatan maupun ilmu pemerintahan. Tusi juga memakai istilah siasat-i mudun dalam dua arti tersebut. Sebenarnya sikapnya terhadap masyarakat negara tamaddun, kelompok sosial dan kota terutama berasal dari pandangan Al Farabi  tetang hal itu.
            Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Untuk memperkuat sikapnya, Tusi mengacu pada istilah insan, sebuah kata Arab yang berarti Manusia, yang secara harfiah berarti yang suka berkumpul dan berhubungan.
e) Ilmu Rumah Tangga
            Tusi mendefinisikan rumah manzil sebagai hubungan istimewa antara suami dan istri, orang tua dan anak, tuan dan hamba, serta kekayaan dan pemiliknya. Tujuan ilmu rumah tangga tadbir-i manzil adalah mengembangkan sistem disiplin yang mendorong terciptanya kesejahteraan fisik, sosial, dan memtal kelompok utama ini, dengan ayah sebagai pemegang kendalinya. Fungsi ayah adalah memperbaiki dan menjaga keseimbangan keluarga.
            Kekayaan diperlukan guna mencapai tujuan-tujuan pokok pemeliharaan-diri serta pemeliharaan-keturunan. Tusi menganggap menabung harta sebagai tindakan yang bijaksana, asalkan hal itu tidak didorong olek sifat tamak dan kikir. Bukan kepuasan syahwat, tapi kekayaan dan perlindungan atas kepemilikanlah yang menjadi tujuan pokok perkawinan. Intelgensi, Integritas, kemurnian, kesederhanaan, kecerdasan dan kerendahan hati, dan terlebih kepatuhan terhadap suami merupakan sifat-sifat yang harus ada pada diri seorang istri.
Ringkasannya,  bagi Tusi, rumah adalah pusat kehidupan keluarga. Pemasukan, tabungan, pengeluaran dan disiplin istri, anak serta pelayan, semuanya merupakan pencipta kesejahteraan keluarga.
f) Kenabian
            Tusi menetapkan perlunya kenabian dan kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat serta individu mengakibatkan tercerai-berainya kehidupan sosial, dan ini memerlukan aturan suci dari Tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia. Tapi Tuhan sendiri berada diluar jangkauan indera, oleh karena itu ia menutus para nabi untuk menuntun orang-orang. Ini, pada gilirannya, pranatan kepemimpinan spiritual setelah para nabi itu untuk menerapkan aturan suci terrsebut.
g) Baik dan Buruk
            Menurut Tusi, yang baik datang dari Tuhan, sedang yang buruk muncul sebagai kebetulan ‘ard dalam perjalanan yang baik itu. Kebaikan, misalnya, merupakan bijih gandum yang ditaburkan di atas tanah dan disirami sehingga tumbuh menjadi tanaman yang menghasilkan panen yang melimpah. Keburukan itu seperti busa yang muncul seberti busa yang muncul di atas permukaan air. Busa jelas berasal dari gerakan air, bukan dari air itu sendiri. Dengan begitu tidak ada prinsip buruk di dunia ini,  tapi sebagai suatu kebetulan ia merupakan suatu kebetulan yang diperlukan atau hasil dari suatu hal. Penilaian kita keburukan selalu relatif sifatnya dan metaforis, yaitu penilaian mengacu kepada sesuatu.
2.      MUHAMMAD IQBAL
            Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 22 februari 1873 di Sialkot, Punjab dari keluarga yang nenek moyangnya berasal dari lembah Kashmir. Setelah menamatkan sekolah dasar di kampung kelahirannya pada tahun 1895 ia segera melanjutkan pelajaran di Lahore. Ia telah mendapat binaan dan gemblengan dengan jiwa muda yang berhati baja olah Maulana Mir Hasan seorang ulama militan yang kawakan, teman ayahnya.
            Iqbal telah pula memberanikan diri mendeklamasikan sajaknya tentang Himalaya, di hadapan para anggota terkemuka organisasi sastra di Labore. Semangat patriotisme tampak sekali dalam sajak yang ditampilkan itu, sehingga karena api semangatnya membara, mendapat sambutan yang luar biasa, mempersonakan dan memukau kalangan sastra. Seorang orientalis yang bernama Sir Thomas W. Arnold yang yang memiliki pandangan yang lain terhadap Islam adalah termasuk pula gurunya. Ia melihat akan kecerdasan Iqbal dan menyarankan agar Iqbal agar sudi melanjutkan studinya ke Eropa. Saran tersebut dilaksanakan sehingga pada tahun 1905 Iqbal melanjutkan studinya di Fakultas Hukum Universitas Cambridge Inggris hingga kemudian memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu tersebut.
            Tertarik akan ilmu filsafat, ia juga sempat mengenyam tingkat doktoral dalam filsafat modern pada Universitas Munich di Jerman dengan disertai The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di Persia) dengan nilai yang sangat memuaskan. Diantara pemikiran-pemikiran Iqbal yang menarik adalah pentingnya arti dinamika dalam hidup. Tujuan akhir setiap manusia ialah hidup, keagungan, kekuatan dan kegairahan. Semua kemampuan manusia harus berada dibawah tujuan ini, dan nilai segalanya harus ditentukan sebagai kecakapan hidup yang dihasilkannya. Mutu seni yang tinggi ialah yang dapat menggunakan kemajuan yang sedang tidur mendorong kita menghadapi cobaan-cobaan manusiawi. Segala yang membawa pengaruh hidup, kelesuan yang membuat kita menutup mata terhadap kenyataan disekeliling kita, yang karena itu saja hidup bergantung, maka itu adalah suatu ajakan yang akan menjerumuskan orang kedalam kehancuran dan maut.
          Sebagian besar karya Iqbal telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa seperti Jerman, Prancis, Inggris, Arab, Rusia, Itali dan  lain-lain, sedangkan Iqbal sendiri menguasai beberapa bahasa Urdu dan Persia, juga bahasa Inggris, Prancis dengan baik, disamping bahasa Arab dan Sansekerta. Sebuah Universitas tertua dijepang, sempat pula dalam tahun 1922 menganugrahi gelar Sir. Universitas Tokyo dan beberapa waktu menganugrahkan gelar Doktor anumerta di bidang sastra, yang pertama kalinya dilakukan oleh Universitas Tokyo.
3.    MULLA SADRA
          Mulla Sadra mempunyai nama lengap Shadar Al-Din Syirazi. Beliau lahir pada tahun 1572 M di Syiraz. Kemudian dia pindah ke Jisfahan, sebuah kota pusat kebudayaan yang penting pada masa itu, dan melanjutkan studinya pada Mir Damad Mir Abul Qasim Fendereski (wafat 1640). Tetapi akhirnya ia kembali ke Syraz sebagai guru pada sekolah agama (madrasah) yang didirikan oleh gubernur Propinsi Fars. Ia telah berziarah tujuh kali ke Mekkah dengan berjalan kaki dan meninggal di Basharah pada tengah perjalanan sepulang naik haji yang ketujuh kalinya pada tahun 1641M.
            Al-Syirazi membagi filsafat kepada dua bagian utama pertama yang bersifat teoritis yang mengacu kepada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya. Dan yang ke dua yang bersifat praktis yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Perwujudan kegiatan pertama ialah pencapaian tujuan akhir semua pengejaran teoritis, yakni yang menyalin atau mencerminkan dunia akali yang dengannya jiwa menjadi sebuah dunia akali bagi dirinya sendiri, seperti yang telah diajukan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Perwujudan kedua ialah mendekatkan diri kepada Tuhan dengan semacam imitato Deo yang membuat jiwa berhak memperoleh sesuatu hak istimewa seperti itu. Untuk memperkuat argumentasi ini ia mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits-hadits Nabi dan ucapan-ucapan Imam syiah pertama, yakni Ali. Di tempat manapun ia tidak mengajukan tempat keberatan atau kualifikasi yang oleh para penulis Sunni tentang masalah teologi ini dirasakan perlu dinyatakan ketika berbicara tentang hubungan antara filsafat dengan dogma. Seperti Al-Suhrawardi, Al-Syirazipun percaya kepada kesatuan kebenaran yang dilahirkan melalui mata rantai yang bersinambungan dari mulai Adam, Ibrahim, orang-orang Yunani, para sufi Islam dan para Filosof. Dalam risalahnya yang lain ia melukiskan secara panjang lebar sebagaimana Seth dan Hermes (Yang dapat disamakan dengan Idris dalam Al-Qur’an dan enoch dalam Injil) bertanggungjawab atas penyebaran pengkajian kebijakan (Al-Hikmah) ke seluruh dunia.
 

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
          Zaman Pra Ibnu Rusyd dianggap sebagai sebuah masa ketika manusia Eropa-para intelektual dan filsuf-berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika yang sepenuhnya dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan.
          Ibnu Rusyd oleh Dante dalam Difine Comediannya menyebutnya “Sang Komentator”karena ia di anggap sebagai komentator terbesar atas karya-karya Aristoteles
DAFTAR PUSTAKA

Hamdi, Ahmad Zainul. 2004. Tujuh Filsuf
Al-Aqqad, Abbas Mahmud. 2003. Ibnu Rusyd. Yogyakarta: QIRTAS
Mustafa, Ahmad. 2009. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia


[1]
[2] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat hidup Ibn Rusyd (Averros) Filosuf Islam Terbesar di Barat, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, h. 31.
[3] Mustofa Ahmad, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009, h.295
[4] M.M. Syarif M.A., Para filosuf Islam, Mizan, Bandung, 1991, h. 217

0 komentar:

Posting Komentar